Keluarga Kita Sekarang Pasca Pandemi Covid (Refleksi Akhir Tahun 2023)

Langgersari Elsari Novianti

Multi-generation family after Pandemic

Pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia sejak Maret 2020. Pemberlakuan pembatasan sosial (PSBB; PPKM, dan istilah lainnya) diberlakukan sejak tengah Maret 2020. Pasar, swalayan, mall, tempat publik dibuka terbatas, dengan jarak aman 1-2 meter; namun sekolah, kantor, rumah ibadah ditutup, gedung pertunjukan, gedung olahraga, dan bioskop ditutup. Sebagian besar kita melakukan seluruh aktivitas di rumah, sejak bangun tidur hingga tidur lagi; selama setidaknya 120 hari pertama; lalu berlanjut ke ratusan hari lainnya. Pertama kali dalam hidup kita, kita semua benar-benar 24 jam berada di rumah bersama keluarga.

Selama periode 1 tahun pertama pandemi Covid-19 (Maret 2020—Januari 2021) mungkin KITA mengalami beberapa hal berikut ini:

  • Kita merasa “terkurung” di rumah; bingung, masih berusaha memahami apa yang terjadi. 
  • Karena informasi simpang siur, sebagian susah tidur karena merasa cemas. Cemas kalau kita sakit; cemas kalau meninggal mendadak; cemas kalau orang yang kita sayangi sakit.
  • Ketika anak-anak mendadak dirumahkan dan harus belajar dari rumah menggunakan teknologi seperti video conferences (zoom, google meet) atau mengerjakan berbagai tugas yang diberikan melalui grup whatsapp, ibu-ibu merasakan pressure/tekanan/beban yang luar biasa. Bukan karena mereka tidak mau mengajarkan anak-anak, tapi memang karena ‘ini adalah hal yang baru”. Orangtua, terutama ibu, mau tidak mau suka tidak suka harus memahami materi belajar anak dan berupaya menjelaskan kepada anak ketika mendampinginya belajar, layaknya seorang guru. Orangtua harus belajar teknologi terkini untuk bisa menunjang keberhasilan belajar anak. Mendadak, orang tua menjadi aktor yang mendokumentasikan aktivitas belajar anak dan hasil belajar anak untuk disetorkan kepada guru. Orangtua juga mesti tetap tegas mendisplinkan anak untuk belajar di rumah, bukannya merasa sedang berlibur karena darurat pandemi virus.
  • Secara bersama-sama, anggota keluarga “berunding” mengenai pembagian ruang dalam aktivitas sehari-hari; dimana tempat belajar, bermain, bekerja, makan, beribadah, dlsb.
  • Suami istri (ayah/ibu) sempat bingung untuk membagi waktu antara jam kerja dan jam untuk keluarga. Pekerjaan dari kantor juga makin banyak, makin menyita waktu (karena lingkungan kerja kita juga berusaha menyesuaikan dengan keadaan pandemi, salah satunya dengan beralih penuh ke teknologi). Tadinya kita pergi-pulang kantor memakan waktu 1-2 jam, tapi ironisnya justru 1-2 jam ini tidak berhasil kita “tabung” untuk digunakan demi kepentingan keluarga. Sebagian kita bekerja dengan laptop dari jam 8 pagi dan selesai bekerja pukul 10 malam (menutup laptop). Nyeri punggung, kekakuan jari, mata perih/kurang cairan, dan kelelahan (fatique) adalah keluhan yang umum bagi para pekerja yang berkarya dari rumah di masa pandemi.
  • Ibu menjadi lebih banyak harus menyediakan makanan di rumah, rumah menjadi lebih sering kotor karena anggota keluarga menghabiskan 24 jam di rumah, dan juga menjaadi lebih berisik. Ibu-ibu merasa kurang tenang di rumah, kurang bisa merasakan “me time”; namun sekaligus gembira karena bisa “mengamati” perkembangan anaknya sehari-hari di rumah dalam berbagai seting (main, belajar).
  • Suami merasa kikuk di rumah; inilah kali pertama dalam sejarah kita benar-benar riil 24 jam di rumah aja. Bekerja diliatin istri; di tengah riuh suara anak bermain atau mengerjakan tugas sekolah; di sudut rumah, di tempat yang tidak ada anggota keluarga lain lalu lalang.
  • Karena kita lebih “ramai di rumah dalam waktu 24 jam” sangat wajar kalau rumah lebih riuh dengan perbedaan pendapat; perselisihan dan ketidaknyamanan meningkat.
  • Karena di rumah saja, kita menjadi lebih banyak menggunakan energi listrik, serta lebih banyak menggunakan internet. Kita memanfaatkan energi matahari dengan lebih baik, misalnya menyengaja berjemur untuk kesehatan tubuh dan sembuh dari paparan virus covid-19. Penggunaan BBM kendaraan berkurang drastis, sehingga langit dan udara menjadi lebih bersih dari polusi selama 6 bulan pertama pandemi. 
  • Karena virus ini bisa beresiko pada kematian, maka secara mendadak, kita tersadarkan untuk lebih dekat dengan Tuhan, spiritualitas dan religiusitas meningkat; meskipun rumah ibadah ditutup karena keadaan, kita tetap beribadah di rumah bersama keluarga lengkap; rumah menjadi mesjid/gereja/pura/vihara untuk kita.
  • Kepedulian kita pada orang lain (termasuk keluarga besar) ditunjukkan dengan beragam cara kreatif; video call bersama dan berfoto penanda suasana lebaran, saling berkirim makanan, mengecek kesehatan anggota keluarga secara rutin dlsb.
  • Kita menjadi lebih peduli pada kesehatan. Menggunakan masker ketika berada di luar rumah; lebih rajin mencuci tangan dengan sabun; selalu mandi begitu tiba di rumah sepulang dari bepergian; memakan buah, sayur, proten tinnggi, dan vitamin lebih banyak; lebih rajin berolahraga, menerapkan isolasi mandiri ketika mengalami gejala flu, dan perilaku hidup sehat lainnya.

Ada beberapa kejadian khusus, misalnya banyak pekerja yang di-PHK; banyak keluarga yang mengalami penurunan pendapatan (terutama karena kehilangan pekerjaan). Banyak pula laporan mengenai peningkatan perselisihan antara suami istri yang memicu keputusan bercerai.  Pelaku dan korban KDRT terkurung dirumah, sehingga kekerasan dalam rumah tangga dilaporkan meningkat frekuensi dan intensitasnya.

Pada pertengahan 2021, sebagian aktivitas sudah mulai normal, dan pada awal 2022 hampir semua aspek kehidupan kita sudah pulih seperti masa-masa sebelum pandemi, dengan beberapa kebiasaan yang masih diteruskan (misal pakai masker, bisa online sekolah kalau ada siswa yang sakit, dlsb).

Apa yang terjadi pada keluarga kita, pasca pandemi? Kami menyebarkan survey singkat pada awal Desember 2023, yang menanyakan 3 hal berikut ini:

(1) kesulitan yang dialami saat pandemi

(2) pelajaran dari pandemi yang mengubah diri

(3) pelajaran dari pandemi yang mengubah keluarga

Survey tersebut diisi oleh 38 orang yang umumnya perempuan (68%), berusia 35-60 tahun (58%) dan 25-34 tahun (29%), berpendidikan S1(60%) pascasarjana (31%), tinggal di Jawa Barat (76%).

Hal yang dirasakan paling sulit saat pandemi 2020-2022.

Survey kecil saat ini memberikan informasi bahwa; 21% mengalami kesulitan ekonomi (misalnya berkurangnya pendapatan, tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari); 15.8% work from home; 13.2% menderita covid-19; 13.2% mengalami depresi, kesepian, atau mental issues lainnya; 10.5% mengalami peristiwa duka dengan wafatnya anggota keluarga.

Hal ini sejalan dengan survey lain yang kami lakukan pada 2021 mengenai hal yang dirasakan paling sulit dalam 6 bulan pertama pandemi covid-19. Saat itu 294 responden mengikuti survey; dan menjawab bahwa (1) mengalami masalah keuangan, baik karena dampak pandemi ataupun tidak (2) tenaga kesehatan (dokter, perawat, psikolog klinis, dll) yang bekerja menangani pasien covid dan (3) mengalami sakit yang memerlukan perawatan terus menerus sebagai pengalaman yang dirasakan paling sulit/berat di masa pandemi Covid-19.

Pelajaran dari Pandemi Covid-19 yang Mengubah Diri Kita.

Survei awal Desember 2023 menunjukkan hasil bahwa menurut responden (1) lebih menjaga kesehatan (gunakan masker, berolahraga rutin, jaga pola makan, jaga pola istirahat, mengelola pikiran/stres); (2) meningkatnya spiritualitas (kebersyukuran, percaya rencana Tuhan, bersabar, menerima ketetapan Tuhan); (3) mengenali mental issues;  (4) lebih banyak meluangkan waktu untuk keluarga; (5) lebih alert dan antisipatif dalam menjalani hidup; (6) jadi pribadi yang lebih mandiri; (7) kendali emosi jadi lebih baik; jadi lebih bersemangat dalam menjalani kehidupan; (8) saling merawat antar teman dan keluarga; menyadari pentingnya keluarga; (9) belajar menata prioritas; (10) meluangkan waktu untuk belajar/memperoleh ilmu secara online; (11) belajar mengelola keuangan; (12) lebih tangguh; dan (13) lebih peduli dan empati dengan keadaan orang lain; (14) lebih fleksibel bekerja (15) pandemi membuka perspektif dan peluang baru; (16) tidak ada perubahan.

Dukungan-dukungan penelitian terkait dampak/pelajaran pandemi untuk keluarga.

Pengalaman responden mengenai dampak pandemi bagi keluarga sesuai dengan lainnya yang dilakukan Valentina dkk (2023). Survei online kualitatif tersebut dilakukan pada 65 partisipan berusia 27-57 tahun (M = 40,85, SD = 6,8) untuk mengeksplorasi karakter kekuatan keluarga Indonesia selama pandemi COVID-19. Hasilnya adalah terdapat delapan karakter kekuatan keluarga Indonesia yang tumbuh dalam keluarga selama Pandemi Covid-19, yaitu: (1) komunikasi yang intens dan terbuka, (2) keintiman dan waktu bersama, (3) kerja sama dan pembagian peran, (4) mencari solusi atas masalah, (5) menerapkan protokol kesehatan, (6) stabilitas keuangan, (7) religiusitas/kesejahteraan spiritual, dan (8) bersyukur dan optimis, (9) pengembangan diri, dan (10) kepedulian terhadap kebutuhan orang lain (Valentina, T. D et al, 2023).

Pandemi telah menyebabkan dampak yang tidak dapat diprediksi dan tidak pasti yang dapat mengancam kesejahteraan keluarga. Tinjauan literatur menunjukkan bahwa pandemi telah menyebabkan masalah kesehatan mental seperti kecemasan, stres, dan depresi. Menciptakan praktik bersyukur setiap hari penting untuk membangun kesejahteraan keluarga. Penting untuk memiliki komunikasi yang baik dan sehat serta menemukan kegiatan positif untuk dilakukan bersama di antara anggota keluarga yang dapat membangun rasa kebersamaan, kepercayaan, kekompakan, dan kebahagiaan. Hubungan yang sehat, komunikasi, praktik-praktik berbasis agama (ritual agama sehari-hari), pola pikir positif, dan membangun dukungan sosial merupakan cara adaptif untuk menghadapi krisis dan kesulitan bersama (Gayatri & Irawaty, 2022).

Ada studi lain juga mengenai dampak pandemi pada keluarga kita. Survei online yang diikuti sebanyak 354 orang tua Indonesia dengan setidaknya satu anak berusia 2 dan 10 tahun (mayoritas adalah Ibu, M=36.2 SD=6.7). Keluarga Indonesia dengan pendapatan rendah dilaporkan mengalami beban keuangan dan pekerjaan selama pandemi COVID-19. Keluarga Indonesia dengan pendapatan rendah yang terpapar beban keuangan dan pekerjaan selama pandemi COVID-19 mengalami lebih banyak masalah fungsi psikososial. Orang tua Indonesia yang memiliki masalah fungsi psikososial melaporkan adanya masalah maladjustment yang lebih besar pada anaknya. Orang tua Indonesia yang melaporkan adanya masalah fungsi psikososial juga melaporkan memiliki lebih sedikit interaksi positif dalam keluarga, yang dikaitkan dengan masalah yang lebih besar pada anak dan kompetensi anak yang lebih sedikit. Kemampuan orang tua untuk menikmati dan menghargai pengalaman hubungan orang tua dan anak selama pandemi COVID-19 dapat mengurangi konsekuensi negatif terhadap fungsi psikososial orang tua, dan yang terpenting, hal ini berimplikasi positif terhadap hasil anak, khususnya dalam mengurangi risiko ketidaksesuaian perilaku pada anak dan meningkatkan kompetensi anak (Riany et al, 2023).

Ada juga penelitian lainnya yang melibatkan 110 keluarga (47 stabil dan 63 jam kerja shift) di wilayah Jabodetabek, dilakukan pada bulan April 2020. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tenaga kesehatan wanita dengan jam kerja stabil memiliki kesejahteraan subjektif, manajemen keuangan, dan kepuasan pernikahan yang lebih tinggi secara signifikan, tetapi sebaliknya memiliki interaksi suami-istri yang lebih rendah, serta masalah pekerjaan dan keluarga lebih tinggi daripada wanita dengan shift jam kerja. Kesejahteraan keluarga dipengaruhi secara positif oleh strategi koping, kepuasan perkawinan, dan pendidikan suami. Kesejahteraan keluarga dipengaruhi secara positif oleh komponen kepuasan pernikahan, komponen interaksi keluarga, penerapan manajemen waktu keluarga, dan pendidikan suami; tetapi dipengaruhi secara negatif oleh pendapatan keluarga dan usia suami (Sunarti, et al, 2023).

Pasca pandemi covid-19 kita bisa berbuat apa?

Dengan memperhatikan pengalaman-pengalaman responden pada survei dan hasil-hasil penelitian mengenai dampak pandemi, apa yang sebaiknya kita lakukan saat ini pada keluarga? Pandemi mengajarkan kita untuk hidup dengan cara yang lebih baik (misalnya  menjaga kesehatan, lebih akrab dengan keluarga) untuk tujuan yang lebih baik. Kita pernah bangkit dari keterpurukan, kita telah pulih dari situasi yang serba tak menentu. Mari kita hidup dengan cara-cara yang lebih baik saat ini dan di waktu-waktu mendatang. Berikut adalah beberapa hal yang bisa kita lakukan saat ini pada keluarga kita, sebagai “hadiah penuh makna” dari pandemi covid-19:

  • Ciptakan relasi yang sehat di keluarga, saling mendukung diantara anggota keluarga; selalu berpikiran positif dalam menjalani kehidupan berkeluarga; melakukan aktivitas spiritualitas/religius yang teratur. Hal-hal ini adalah cara-cara yang adaptif yang dapat dilakukan keluarga dalam menghadapi masa penuh kesulitan (krisis) bersama-sama.
  • Membangun aktivitas harian yang menunjukkan gratitude (rasa syukur) penting untuk membangun kesejahteraan keluarga.
  • Penting untuk membangun komunikasi yang baik dan sehat serta melakukan berbagai aktivitas positif di keluarga untuk menciptakan perasaan kebersamaan, saling percaya, kohesivitas (kekompakan), dan kebahagiaan. 
  • Mari kita isi kehidupan saat ini dengan banyak kebersamaan dengan keluarga, dengan tujuan membahagiakan tiap anggota keluarga, mengisi kehangatan bagi tiap jiwa, agar bisa berelasi hangat pula dengan banyak orang di luar sana. Sempatkan untuk berbincang singkat 5-10 menit di pagi hari, beribadah dan sarapan bersama; saling memberi kabar di siang hari di tengah kesibukan; menyapa dengan hangat, memberi pelukan saat kembali bertemu di rumah, berbincang sore 10-20 menit; ibadah dan makan malam bersama; tolong menolong di rumah; bercengkrama menjelang tidur; memaafkan dan berterima kasih untuk 1 hari ini yang telah kita lalui bersama-sama.
  • Tiap pekan, upayakan ada 1-2 jam waktu khusus suami-istri beraktivitas dan berbincang bersama; 1-2 jam ayah dan anak-anak beraktivitas dan berbincang bersama; 1-2 jam ibu beraktivitas dan berbincang bersama anak-anak.
  • Jika ada perbedaan pendapat, utarakan dengan jujur, belajar saling mendengarkan, hormati pendapat anggota keluarga lain, upayakan untuk mengambil keputusan bersama-sama.
  • Jangan biarkan masalah berlarut-larut, selesaikan masalah 1-1. Berkonsultasilah ke psikolog (jika perlu) untuk membantu menyelesaikan masalah keluarga yang menemui jalan buntu.

Selamat Tahun Baru 2024. Mari kita berjuang bersama-sama untuk meningkatkan kesejahteraan jiwa pada keluarga.

Sumber bacaan:

  • Gayatri, M., & Irawaty, D. K. (2022). Family Resilience during COVID-19 Pandemic: A Literature Review. The Family Journal30(2), 132-138. https://doi.org/10.1177/10664807211023875.
  • Riany, Y.E., Morawska, A. Financial and Work Burden, Psychosocial Functioning, and Family Interactions During the COVID-19 Pandemic in Indonesia: Effects on Child Outcomes. Child Psychiatry Hum Dev 54, 340–351 (2023). https://doi.org/10.1007/s10578-021-01251-1.
  • Valentina, T. D., & Nurcahyo, F. A. (2023). Family Strength During the COVID-19 Pandemic in Indonesia. Journal of Family Issues, 44(8), 2054-2075. https://doi.org/10.1177/0192513X211068921.
  • SunartiE., KamilahD., AlmasH., & PitrianiS. (2021). Family Subjective Well-Being of Health Workers Women During The Covid-19 Pandemic : Family Subjective Well-Being of Health Workers Women During The Covid-19 Pandemic. Journal of Family Sciences, 5(2), 103-120. https://doi.org/10.29244/jfs.v5i2.33152.