6 Indikator Keluarga Kuat dan Sehat

Happy multi-generation family sitting at the dining table on Thanksgiving and communicating through a digital tablet

Sejak tahun 1997-an sekelompok peneliti dunia, John DeFrain, David H. Olson dkk mengembangkan suatu penelitian yang mengkaji hal-hal yang menjadikan suatu keluarga tumbuh kuat sepanjang waktu. Studi ini pertama kali dilakukan di Australia dan Amerika, lalu berpindah-pindah ke negara lainnya; total sekitar 40 negara dan 29 ribu anggota keluarga telah ikut serta dalam penelitian ini. Peneliti menyebarkan kuesioner mengenai Family Strength dan kemudian mendalami hasilnya dengan mewawancarai individu (anggota keluarga), mewawancarai komunitas, hidup bersama masyarakat untuk mengamati sumber-sumber kekuatan keluarga mewarnai perilaku keseharian mereka. Kadangkala lebih banyak wawancara dan pengamatan yang dilakukan di suatu daerah di negara tertentu. Studi ini sangat komprehensif melibatkan negara-negara dengan budaya barat (individualistik) dan budaya timur (kolektif); kota besar, kota kecil, dan daerah pedesaan. Dengan mempelajari hal-hal yang membuat keluarga kuat, melalui pengalaman 29 ribu keluarga di dunia, saya berharap (1) kita dapat menelaah (refleksi) keadaan keluarga kita saat ini, dan (2) bersedia untuk mengembangkan (mempraktikkan) kebiasaan-kebiasaan baik lainnya dalam keluarga kita secara konsisten, agar keluarga kita pun tumbuh kuat dan sehat seperti keluarga yang jadi responden penelitian ini. Berikut adalah penjelasan 6 indikator keluarga sehat dan kuat menurut hasil penelitian International Family Strength Framework:

1.      Appreciation and Affection. 

  • Menciptakan kehangatan dalam keluarga 
  • Menunjukkan kepedulian//penghargaan//apresiasi satu sama lain di keluarga
  • Membiasakan diri untuk mengucapkan terima kasih; maaf; minta tolong pada anggota keluarga untuk menunjukkan apresiasi akan perilaku sehari-hari. 
  • Mengekspresikan kasih sayang dengan sentuhan fisik (ciuman, memeluk, mengelus), mengucapkan secara verbal, memberikan pelayanan—pemenuhan kebutuhan sehari-hari (misalnya menyediakan makanan).
  • Saling mendampingi, menjadi teman bagi sesama anggota keluarga
  • Saling berusaha memahami, saling bantu, saling jaga, dan berperilaku menyenangkan sesama anggota keluarga.
  • Berusaha menciptakan suasana menyenangkan setiap harinya di rumah (bercanda, men-create rutinitas rumah yang menyenangkan, saling berbagi cerita, ngeteh bersama, makan malam bersama, ibadah bersama dll)

Dengan adanya perilaku-perilaku tersebut MAKA atmosphere positif di keluarga jadi terbangun, tiap orang merasa lebih baik setiap hari terutama ketika sedang bersama keluarganya. Tiap orang merasa dirinya berharga dan dicintai. Jika tiap orang nyaman dengan dirinya, maka ia akan berlaku baik dengan orang lain à anggota keluarga yang sehat mental, akan mendorong relasi sosial yang sehat dengan orang lain.

Catatan lainnya: 

– Studi ini juga menunjukkan bahwa hubungan seksual pada keluarga-keluarga yang “strong family” ini dihayati sebagai bentuk apresiasi suami & istri; dan merupakan akumulasi dari perilaku tolong menolong dalam tugas rumah tangga (memasak, bersih-bersih) serta saling mengisi dalam pengasuhan anak; ketika suami istri bekerja sama menyelesaikan masalah dan bekerja sama dalam suatu proyek bersama-sama. Waktu dimana seks dianggap memuaskan (terbaik) adalah saat “kita”, suami istri, merasa betul-betul dekat satu sama lain dan menyatu. Dengan perkataan lain: jika mau menciptakan seks yang baik antara suami istri, maka ciptakan perilaku yang baik sehari-hari antara suami istri. 

(2)       Commitment

  • Anggota di keluarga yang kuat—sehat, secara umum menunjukkan komitmen yang kuat satu sama lain, menginvestasikan energi & waktu dalam aktivitas keluarga dan tidak membiarkan pekerjaan atau prioritas lainnya mengambil terlalu banyak waktu atau justru menjauhkan dari keluarga. 
  • Saling memberikan kebebasan dan remotivasi/mendorong untuk tiap anggota keluarga mencapai tujuannya.
  • Menghentikan aktivitas atau tujuan yang mengancam waktu bersama keluarga. Menjadi setia satu sama lain (secara seksual) adalah bagian dari menjadi jujur each other. Jujur adalah pilihan yang bijak.
  • Saling percaya; saling jujur; saling bergantung; dapat saling diandalkan satu sama lain, setia; saling berbagi dalam suka duka (berbagi pikiran dan perasaan).
  • Ungkapan-ungkapan responden terkait komitmen:

Anak dan istri adalah hal terpenting dalam hidup saya.

Apa yang kita miliki sebagai keluarga adalah harta berharga.

(3) Positive Communication

  • Menyediakan waktu untuk saling bicara, saling mendengarkan à untuk dapat lebih saling memahami.
  • Ketika “berdialog” tidak bekerja/melakukan hal lain à fokus hanya pada momen dialog yang dilakukan; melakukan eye contact (kontak mata) dengan lawan bicara, memperhatikan wajahnya, mengamati ekspresi wajahnya, benarbenar menyimak isi pembicaraan.
  • Lebih sering menggunakan pertanyaan terbuka ketika berdialog dengan anggota keluarga. Contoh pertanyaan terbuka: apa yang kamu alami hari ini; pada remaja, sex menurut kamu apa? Pertanyaan terbuka akan menciptakan kenyamanan, sehingga berbagai isu bisa dibahasà untuk menggali pemahaman orang lain.
  • Of course, dalam keluarga selalu ada masalah. Hal yang perlu dilakukan keluarga adalah sama-sama untuk mengidentifikasi masalah, berdiskusi memngenai alternatif solusi, dan sama-sama ambil keputusan yang sesuai dengan keadaan keluarga. 
  • Ketika ada ketidaksetujuan dan konflik dalam berdialog à nggak apa-apa, berbicaralah secara terbuka dan jujur tentang apa yang dipikirkan dan dirasakan. Tidak saling menyalahkan, tidak menghindari percakapan, tidak mengkritik, tidak denial problems (mengatakan tidak ada masalah), dan berbicara secara langsung (tidak berbicara di belakang).
  • Mendengarkan. Menjadi pendengar yang baik. Ketika harus bertanya, maka bertanyalah untuk lebih memahami anggota keluarga. Tidak membiasakan diri menebak—membaca pikiran anggota keluarga lainnya; jika mau tahu, ya tanya aja; jika bingung, ya tanya aja; jika minta pendapat, ya tanya aja. 

Tuhan menciptakan 2 telinga dan 1 mulut, artinya kita harus lebih banyak mendengarkan dibandingkan berbicara. 

  • Humor berguna untuk menjaga relasi yang positif dalam keluarga, menciptakan pandangan positif tentang hidup, mengurangi ketegangan dalam relasi, dan saling menghibur satu sama lain. Menertawakan hal-hal yang lucu, ringan/receh, aneh, yang nggak logisyang terjadi pada tiap anggota keluarga tiap hari. Bahkan di saat berduka karena kepergian anggota keluarga, kadangkala kita mengenang jokes (candaan, humor) yang sering diungkapkan almarhum dan saling bercerita mengenai jokes tersebut sudah memberikan penghiburan tersendiri bagi kita yang ditinggalkan. 

(4) Enjoyable Time Together

  • Pada bagian ini, para peneliti menekankan pentingnya quality time with great quantity. Jadi waktu-waktu yang berkualitas antara suami-istri, orang tua-anak, anak-saudara kandung dan sebagai keluarga penting untuk sering ada dalam kehidupan sehari-hari. Perlu waktu berkualitas dalam jumlah yang banyak.  
  • Tiap keluarga perlu merencanakan (menciptakan) aktivitas yang dapat dilakukan secara aktif bersama-sama (misalnya makan bersama di rumah, piknik di rumah, pergi piknik ke taman, bernyanyi bersama, karaoke, main piano bersama, berkebun, menyelesaikan puzzle besar bersama-sama, naik gunung bersama, camping, atau berolahraga bersama).
  • Aktivitas bisa yang sederhana dengan seluruh anggota keluarga ikut dan bisa menghabiskan waktu bersama-sama, tidak perlu menghabiskan banyak uang. Simple good times & sharing fun times (melakukan hal yang sederhana dan berbagi pengalaman menyenangkan bersama).
  • Ritual activities at home à membuat tiap anggota keluarga merasa nyaman di rumah dan anak mudah menyesuaikan diri, meningkatkan perasaan “terkoneksi” dan stabilitas dalam keluarga (contohnya adalah rutinitas makan pagi atau malam bersama, ngeteh sore, bebersih rumah 1 minggu sekali, beribadah sama-sama, berolahraga, aktivitas weekend, merayakan ulang tahun & peringatan-peringatan lain, berlibur bersama).
  • Pada saat aktivitas dilakukan bersama (tiap hari), ingat untuk mempraktikkan indikator lain yang sudah dikemukakan di atas (eye contact, mendengarkan, berdialog, bertanya terbuka, sharing perasaan—pikiran—pengalaman, humor, berperilaku menyenangkan, menunjukkan kasih sayang dll).
  • Good things need the time à sampai kebiasaan-kebiasaan/rutinitas itu “bermakna” bagi tiap anggota keluarga perlu waktu untuk melakukannya berulang kali secara konsisten.

Catatan: Pada penelitian ini juga ditanyakan mengenai apa yang membuat suatu keluarga bahagia (ditanyakan pada 1500 anak di usia SD). Anak-anak tersebut menjawab “A happy family is one that does things together and spend enjoyable time together”. Keluarga yang bahagia adalah yang melakukan berbagai hal bersama-sama dan menghabiskan waktu yang menyenangkan bersama.  

(5) Spiritual Well-Being and Shared Values

  • Ini adalah temuan yang kontroversial, karena tidak disangka muncul secara konsisten dari berbagai negara dengan perbedaan budaya dan agama. Spirituality and religiosity ditemukan konsisten pada keluarga yang kokoh/kuat (strong families) à sebagian mereka menyebutnya spiritual well-being; percaya/yakin/iman pada Tuhan; adanya harapan/optimisme pada hidup dan merasakan menyatu dengan dunia; merasakan bahwa hubungan antar anggota keluarga adalah hal yang sakral. Mencakup saling berbagi (menanamkan dan menerapkan dalam perilaku sehari-hari) nilai-nilai dan etika yang diyakini bersama dan berkomitmen terhadap tujuan-tujuan penting.
  • Spiritual well-being can be the caring center within each individual that promotes sharing, love, and compassion. Spiritual well-being mendorong perasaan “menjadi bagian dari keluarga-keluarga lain di dunia ini” à mendorong untuk mengembangkan kepedulian, dukungan, pertolongan, kasih sayang kepada keluarga lain yang ditimpa sakit, kecelakaan, kesulitan, atau hal lainnya.
  • Spiritual vs religiosity (institution) à mereka yang spiritualis (memiliki koneksi dengan TuhanNya), membawa keyakinan nilai/beliefs-beliefs ini dalam membentuk perilaku dan tradisi di keluarga. Mereka yang spiritualis, meyakini bahwa kehidupan keluarga yang dijalaninya diamati oleh Tuhan, sehingga memperlakukan anggota keluarga dengan baik—penuh kasih sayang adalah sebuah keharusan, mengembangkan nilai-nilai kebaikan (misalnya jujur, kerja keras, menghargai, saling menolong, tidak berkata kasar, dll) dalam keluarga dilakukan karena koneksivitas dengan TuhanNya, mereka beribadah untuk selalu menciptakan ketenangan dalam batin karena terkoneksi dengan penciptaNya. Mereka yang religius, umumnya mengembangkan kebiasaan beribadah dalam keluarga (secara ketat) sebagai perwujudan dari nilai-nilai agamanya. 
  • Keyakinan spiritual berkorelasi kuat dengan keberhasilan pernikahan; komunikasi yang lebih baik, kemampuan yang lebih baik dalam menyelesaikan konflik, lebih banyak kemesraan, dan lebih fleksibel dalam menjalani perubahan di kehidupan sehari-hari.

(6) Ability to Manage Stress and Crisis Effectively

  • Keluarga yang kuat tetap memiliki masalah; namun mereka dapat mengelola/mengatasi stress dan krisis secara efektif. Seringnya mereka bisa mencegah masalah; tapi jika stressor (sumber masalah) tidak terhindarkan, maka mereka dengan segera berupaya meminimalisir bahaya (kerusakan, dampak negatif) lebih lanjut pada kesejahteraan anggota keluarga, dan mencari peluang untuk tumbuh—berkembang bersama.
  • Tiap anggota diberi peran untuk mengatasi masalah, meskipun seorang anak kecil. Komunikasi terbuka, tidak saling menyalahkan, saling mendengarkan, saling menghargai menjadi kunci dari keberhasilan mengatasi masalah.  
  • Keluarga yang kuat juga “aktif” mencari pertolongan jika mereka tidak bisa menyelesaikan masalah [misalnya menemui konselor untuk belajar cara-cara yang baik dalam menghadapi krisis].
  • Keluarga yang kuat mampu dengan cepat beradaptasi pada perubahan; melihat krisis sebagai tantangan dan peluang; tumbuh bersama melalui krisis; berusaha bangkit di saat terpuruk.
  • Keluarga yang kuat merasa saling terhubung satu sama lain dan terhubung dengan hal-hal yang sakral dalam hidupnya.

Selamat mempraktikkan dalam keluarga kita. 

Semoga kita menjadi keluarga yang sehat dan kuat…. 

Sumber bacaan:

Langgersari Elsari Novianti. S.Psi.,M.Psi.,Psikolog
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran.
Mahasiswa S3 Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran (Peneliti “Relasi Pasangan Suami Istri”)