Tanam 2 Juta Bibit Murbei, Sulsel Bangun Kembali Industri Sutra
K-LITE FM BANDUNG,- Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melalui dinas perindustrian terus menggenjot upaya mengembalikan kejayaan kerajinan sutra alam. Tahun ini setidaknya 2 juta bibit murbei disiapkan untuk ditanam berikut rumah kokon dan peralatan produksi ulat sutra. Targetnya adalah memproduksi benang sutra berkualitas yang selama ini diimpor pelaku usaha tenun.
Sebanyak 1 juta bibit murbei akan ditanam di Kabupaten Wajo dan Soppeng. Dua kabupaten ini adalah sentra benang dan industri tenun sutra di Sulsel. Terdapat ratusan usaha tenun sutra yang tersebar di dua kabupaten ini. Pada 2021, 1 juta bibit ditanam di Wajo dan 500.000 bibit ditanam tahun lalu.
Kepala Dinas Perindustrian Sulsel Ahmadi Akil mengatakan, selama ini benang yang diproduksi masih berupa benang pakan yang kasar. Adapun sutra halus, yakni benang lusi, masih diimpor dari China dan Thailand. ”Makanya kami akan menggenjot produksi benang sutra yang berkualitas agar kebutuhan industri bisa dipasok tanpa mengimpor,” ujarnya, Rabu (1/2/2023).
Dia menjelaskan, selisih harga benang impor dan yang diproduksi sendiri cukup signifikan. Benang impor dibeli penenun hingga Rp 1,5 juta per kilogram. Sementara benang sama yang diproduksi di daerah ini harganya maksimal Rp 1 juta per kg.
Ahmadi menambahkan, selain penanaman murbei, pihaknya juga telah membeli mesin pemintal modern dengan sistem otomatis penuh dan semi-otomatis yang ditempatkan di Wajo dan Soppeng. Saat ini mesin rata-rata beroperasi hingga tiga jam per hari dan menghasilkan 1 ton benang per bulan. Namun, jika produksi kokon melimpah, mesin bisa beroperasi hingga beberapa kali sehari.
Sutra pernah menjadi komoditas unggulan yang mengangkat nama Sulsel sebagai penghasil benang sutra. Era kejayaan sutra di Sulsel ditandai dengan berdirinya pabrik pemintalan benang sutra di Soppeng. Dimulai pada 1960, masa keemasan sutra mencapai puncak pada 1970-1980-an. Di masa jayanya, produksi benang sutra mencapai 140 ton per tahun.
Ahmadi mengatakan, pada era tahun 1970-an, Sulsel menjadi salah satu penghasil benang sutra terbesar di Indonesia. Tidak hanya memasok kebutuhan dalam negeri, tetapi juga mengekspor benang sutra.
Namun, berbagai persoalan muncul. Pada saat yang sama, komoditas kakao masuk. Krisis ekonomi 1997 yang membuat harga kakao melambung membuat petani kemudian ramai-ramai beralih menjadi petani kakao. Sebagian beralih ke tanaman padi dan beragam komoditas lain, meninggalkan sutra.
”Kami ingin kembali ke masa kejayaan itu, di mana benang sutra tidak hanya digunakan pelaku usaha di Sulsel, tetapi juga hingga luar Sulsel, bahkan diekspor. Jika upaya saat ini berhasil, penanaman murbei akan diperluas ke Bone, Sidrap, dan Enrekang. Saya optimistis petani mau menanam murbei jika melihat sudah ada yang berhasil,” katanya.
Soal sutra juga pernah menjadi kajian Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI). Hasil kajian BaKTI menemukan fakta di Kabupaten Wajo, yang dulunya ada ribuan penenun, kini tersisa sekitar 150 orang saja.