Pernikahan Dini di Jawa Barat Makin Meningkat, di Antara Penyebabnya Kehamilan di Luar Nikah
K-LITE FM BANDUNG,- Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Barat mencatat sebanyak 8.607 pengajuan dispensasi pernikahan dini di Jawa Barat sampai Triwulan III tahun 2022.
Kepala DP3AKB Jabar, I Gusti Agung Kim Fajar Wiyati Oka, mengatakan walaupun masih tersisa satu triwulan lagi, angka ini sudah mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya.
Pada 2021, pengajuan dispensasi nikah di Jabar tercatat sebanyak 6.794.
Kim mengatakan, sejumlah faktor yang menyebabkan permohonan dispensasi ini meningkat. Namun, mayoritas adalah kehamilan di luar nikah.
“Meningkatnya jumlah kehamilan tidak diinginkan atau KTD,” kata Kim melalui pesan digital, Selasa (17/1).
Ia mengatakan dari 8.607 dispensasi perkawinan anak yang dikeluarkan pengadilan agama di Jabar tersebut, sebanyak 4.297 dispensasi diajukan pihak perempuan dan 4.310 dispensasi diajukan pihak laki-laki.
Enam kabupaten mencatat angka tertinggi pengajuan dispensasi pernikahan anak.
Yaitu, Tasikmalaya sebanyak 1.240 pengajuan, Garut sebanyak 929 pengajuan, Ciamis 828 pengajuan, Cirebon 713 pengajuan, Majalengka 618 pengajuan, dan Indramayu 490 pengajuan.
“Data sampai dengan triwulan empat masih proses, belum rilis dari Pengadilan Tinggi Agama Jawa Barat,” ujarnya.
Selain karena kehamilan di luar nikah, ujar Kim, pernikahan dini juga disebabkan masalah ekonomi keluarga. Anak seolah-olah menjadi beban buat orang tua sehingga ketika dinikahkan harapannya beban tersebut akan berkurang.
Sebab lainnya kurangnya pengetahuan orang tua maupun anak yang kurang terkait bahaya dan dampak negatif yang ditimbulkan ketika menikah saat belum cukup usia.
Penyebab lainnya, adanya kepercayaan atau nilai budaya yang menyatakan bahwa lebih baik dinikahkan daripada berbuat zina, dan budaya yang menyatakan jika anak perempuan tidak segera menikah akan tidak laku dan jadi perawan tua.
Berbagai upaya, menurut Kim, terus dilakukan Pemprov Jabar untuk menekan angka pernikahan dini ini. Salah satunya, program Stopan Jabar.
“Gerakan bersama pencegahan perkawinan anak yang melibatkan sinergitas lintas sektoral dengan merangkul semua pihak,” ujarnya.
Ia mengatakan saat ini sudah terbangun komitmen bersama untuk mencegah perkawinan anak melalui penandatangan nota kesepakatan dengan BKKBN Perwakilan Provinsi Jawa Barat, Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, dan Pengadilan Agama Jawa Barat.
“Serta penandatangan komitmen bersama dengan unsur pentahelix (pemerintah, akademisi, bisnis, lembaga masyarakat, dan media). Selain itu kita juga melibatkan forum anak daerah untuk melakukan sosialisasi pada teman sebaya tentang bahaya perkawinan anak,” katanya.
Ia mengatakan pencegahan perkawinan anak tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah karena pemerintah memiliki keterbatasan sumberdaya, sehingga diperlukan komitmen bersama untuk menurunkan angka perkawinan anak di Jabar.
“Selain itu juga ini mengharuskan upaya lintas sektoral, misalnya peningkatan ekonomi mayarakat dan upaya penyaringan yang ketat terhadap konten media elektronik yang saat ini sangat mudah diakses oleh anak-anak dan remaja,” ujarnya.
Panitera Muda (Panmud) Hukum PA Kelas I A Ciamis, Hj Yayah Nuriyah S.Ag , mengatakan tingginya angka dispensasi nikah sebenarnya menjadi dampak logis dari revisi UU Perkawinan yang dilakukan pemerintah.
Semula, sesuai dengan ketentuan pasal 7 ayat (1) UU No 1 tahun 1974 (UU Perkawinan), usia minimal syarat seorang laki-laki untuk menikah adalah 19 tahun, sementara usia minimal perempuan 16 tahun.
Namun setelah ketentuan pasal 7 ayat (1) UU No 1 tahun 1974 direvisi dalam UU No 16 tahun 2019 (perubahan UU No 1 tahun 1974), usia minimal laki-laki menikah tetap yakni usia 19 tahun, sementara perempuan untuk menikah usia minimal juga 19 tahun.
Ini membuat perempuan yang berusia 16 hingga 18 tahun harus mengajukan dispensasi jika ingin menikah. Sesuatu yang pada UU sebelumnya tidak perlu dilakukan.
Itu sebabnya, sejak 2020 permohonan dispensasi nikah naik berkali-kali lipat. Tak terkecuali di Pengadilan Agama (PA) Kelas IA Ciamis. Di PA Ciamis tahun 2018 hanya terdapat 85 permohonan dispensasi.
Namun, pada 2019 meningkat jadi 316 permohonan, dan meningkat lagi pada 2020 menjadi 823 permohonan atau 10 kali lipat dari 2018.
Tahun 2021, permohonan dispensasi nikah yang masuk ke PA Ciamis menurun menjadi 787 permohonan, dan menurun lagi tahu 2022 menjadi 556 permohonan.
Kepala PA Bandung, Asep M. Ali Nurdin, mengatakan pemohon yang mengajukan dispensasi menikah di Kota Bandung sebagian besar sudah putus sekolah atau hanya tamatan SD dan SMP.
“Penyebabnya mayoritas bisa diambil persentase di atas 90 persen itu karena memang sudah hamil duluan. Rentang usianya 17-18 tahun. Sangat sedikit di bawah 16 tahun,” kata Asep saat ditemui PA, Jalan Terusan Jakarta, Kota Bandung, Selasa (17/1)
Berdasarkan UU Perkawinan yang sudah direvisi, ujarnya, mereka harus mengajukan dispensasi nikah.
Pada 2020 jumlah pemohon sebanyak 219 pemohon. Jumlah tersebut mengalami penurunan pada 2021 menjadi 193 pemohon dan 2022 jumlahnya menjadi 143 pemohon.
“Sehingga bisa dikatakan warga Bandung lebih memahami dan menyadari agar tidak terjadi pernikahan usia dini di bawah 19 tahun,” ujar Asep.
Kasi Bimas pada Kemenag Kota Bandung, Abdul Hanan, mengatakan dari sisi persentase, angka pernikahan dini di Kota Bandung terbilang kecil. Menurutnya, dalam setahun rata-rata angka pernikahan di Bandung sebanyak 15 ribuan, sedangkan untuk kasus pernikahan dini masih di bawah 1 persen.
Namun, terlepas dari rendah atau tingginya angka pernikahan dini, ujar Abdul, semua pihak harus memiliki kesadaran bersama akan pentingnya melangsungkan pernikahan di usia minimal 19 tahun sesuai aturan.
“Semua pihak harus bahu membahu memberikan edukasi itu ke masyarakat,” ujarnya.