Waspadai Wabah “Kencing Tikus” Leptospirosis

Idra K Muhtadi

08 Juli 2025

Klite Media- Pada musim kemarau di Indonesia pada tahun 2025 ini masih terdapat curah hujan yang cukup tinggi, khususnya di daerah Bandung Raya (Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat). Efek dari curah hujan yang tinggi ini memberikan ancaman serius terjadinya banjir. Kesadaran masyarakat terhadap berbagai penyakit menular terutama yang berkaitan erat dengan banjir harus ditingkatkan karena masih banyak infeksi yang kerap terabaikan karena gejalanya yang menyerupai penyakit ringan. Salah satunya adalah leptospirosis, yang meningkat insidensinya setiap ada musibah banjir. Di Indonesia walaupun leptospirosis bukanlah penyakit baru, namun sistem sanitasi yang belum optimal bila ditambah banjir membuat penyakit ini kembali menjadi ancaman.

Mengenal Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, yaitu penyakit infeksi yang ditularkan dari hewan ke manusia. Infeksi leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira, yang banyak ditemukan pada urin hewan terutama tikus, serta dapat mencemari tanah dan air di sekitarnya. Penularannya terjadi bila orang bersentuhan dengan air atau lumpur yang terkontaminasi, terutama jika kulit mengalami luka atau terkena langsung pada membran mukosa seperti mata dan mulut. Di Indonesia penyakit ini populer dikenal sebagai “penyakit kencing tikus.” Leptospirosis sering kali menye-rang kelompok masyarakat yang terpapar lingkungan kotor atau lembap, seperti petani, tinggal di DAS (daerah aliran sungai) perkotaan, hingga warga yang beraktivitas di sekitar pasar tradisional; terutama bila terjadi musibah banjir.

Gejala dan Tahapan Klinis Leptospirosis
Leptospirosis memiliki spektrum gejala yang luas, tergantung pada tingkat keparahan infeksi dan respons imun tubuh penderita. Secara umum, penyakit ini berkembang dalam dua fase utama, yaitu fase anicteric (tanpa terjadi tubuh kuning) dan fase icteric (terjadi tubuh kuning) atau yang dikenal sebagai Weil’s disease (penyakit Weil). Fase anicteric syndrome mencakup sekitar 90% dari seluruh kasus leptospirosis:

Fase 1: Anicteric syndrome (ringan)

  • Gejala mirip fludemam mendadak, nyeri otot (terutama betis dan punggung bawah), sakit kepala, batuk, mualdiaremata merah.
  • Durasi biasanya 1-2 minggu, namun bisa tak bergejala sama sekali.

Fase 2: Icteric syndrome atau Weil’s Disease

  • Terjadi setelah fase ringan membaik lalu memburuk kembali, atau pada saat tubuh tidak dapat mengatasi infeksinya.
  • Ditandai dengan terjadinya kuning (jaundice), hepatitis, perdarahan spontan, aritmenia, dan kesulitan bernapas.
  • Komplikasi berat dapat terjadi rhabdomyolysis (kerusakan otot yang serius), gagal ginjal /paru/hati meningitis (radang selaput otak), myocarditis (radang otot jantung), shock, sampai terjadi kematian.

 
Pengobatan Leptospirosis
Strategi pengobatan leptospirosis sangat bergantung pada tingkat keparahan gejala yang dialami pasien. Pada kasus yang tergolong ringan, yang umumnya hanya menunjukkan gejala seperti deman, nyeri otot, atau kelelahan, pengo-batan dapat dilakukan secara rawat jalan. Pasien dianjurkan untuk banyak beristirahat, menjaga kecukupan cairan tubuh, serta mengkonsumsi obat pereda nyeri dan penurun demam seperti ibuprofen atau paracetamol. Selain itu, dokter biasanya meresepkan antibiotik oral, yang terbukti efektif mengurangi durasi dan keparahan penyakit jika diberikan sejak dini.
 
Namun, pada kasus yang lebih berat, terutama yang telah berkembang menjadi Weil’s disease, penanganan harus dilakukan secara intensif di rumah sakit. Penderita membutuhkan perawatan lanjutan karena infeksi dapat menyebabkan kerusakan multi-organ. Antibiotik yang digunakan dalam kondisi ini umumnya diberikan secara intravena, untuk memastikan konsentrasi obat yang memadai dalam aliran darah. Perawatan suportif juga sangat penting untuk mendukung organ yang terdampak. Pasien dengan gagal ginjal mungkin memerlukan dialisis, sementara pasien dengan gangguan pernapasan dapat membutuhkan bantuan ventilator.
 
Pencegahan
Semua penyakit lebih baik dicegah dari pada mengobati, demikian pula halnya dengan infeksi leptospirosis, pencegahan merupakan langkah yang sangat penting, mengingat penyakit ini sering kali muncul akibat kontak dengan lingkungan yang terkontaminasi dan sulit terdeteksi secara kasat mata.

  1. Salah satu langkah paling dasar adalah menghindari kontak langsung dengan air atau lumpur yang kemungkinan tercemar urin hewan, terutama setelah terjadinya banjir atau genangan air akibat hujan deras. Kementerian Kesehatan RI secara khusus mengimbau masyarakat untuk tidak berenang, bermain, atau berjalan di air banjir tanpa perlindungan yang memadai, karena risiko penularannya sangat tinggi di situasi seperti itu.

Selain itu, penggunaan alas kaki dan alat pelindung diri lainnya seperti sarung tangan dan sepatu bot sangat dianjurkan, terutama bagi mereka yang bekerja di lingkungan berisiko tinggi seperti tempat pembuangan sampah, selokan, sungai, lahan pertanian, atau pasar tradisional. Luka kecil pada kulit, yang sering dianggap sepele, bisa menjadi pintu masuk bakteri Leptospira ke dalam tubuh. Lingkungan yang bersih, bebas dari tumpukan sampah, dan tidak lembap akan mengurangi daya tarik bagi tikus untuk berkembang biak. Strategi pengelolaan sampah yang baik, memperbaiki saluran air, serta menutup ma-kanan menjadi bagian integral pencegahan leptospirosis.