Bersih-bersih Polri Tak Cukup dengan Menjerat Ferdy Sambo
K-Lite FM,- Polri telah menetapkan mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo sebagai tersangka sekaligus aktor utama kasus pembunuhan Brigadir Yoshua Hutabarat atau Brigadir J. Keterlibatan Sambo dalam perkara ini menjadi aib bagi Polri.
Sambo dijerat Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 juncto 56 KUHP. Pasal 340 mengatur pidana terkait pembunuhan berencana dengan ancaman pidana hukuman mati, pidana penjara seumur hidup, atau penjara 20 tahun.
Selain Sambo, dua orang ajudannya yakni Bharada RE dan Bripka RR serta asisten rumah tangganya KM juga turut menjadi tersangka.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai penetapan Sambo sebagai tersangka bukan akhir dari pengungkapan kasus. Sebab, menurutnya, Polri sudah kadung melukai kepercayaan masyarakat.
Dalam kasus ini, 31 anggota Polri diduga melanggar etik. Lalu, 11 anggota lainnya yang terdiri dari 3 jenderal juga ditahan di Mako Brimob.
“Artinya kan ini bukan pelanggaran oknum, tapi pelanggaran kelompok,” kata Bambang kepada CNNIndonesia.com, Rabu (10/8).
“Dan ini jelas perlu, seharusnya dijadikan aib bagi kepolisian,” imbuhnya.
Dengan banyaknya orang yang diduga terlibat, bagi Bambang, ini semakin menegaskan bahwa sejumlah anggota kepolisian berusaha menutup-nutupi fakta dalam kasus tersebut.
Apalagi, skenario yang diungkap saat ini jauh berbeda dengan sebelumnya, padahal sama-sama dikeluarkan kepolisian.
Pada awal kasus mencuat, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Polri Brigjen Ahmad Ramadhan menyatakan Brigadir J tewas karena baku tembak dengan Bharada E.
Saat itu, kata Ramadhan, Brigadir J diduga mencoba melakukan pelecehan seksual terhadap istri Sambo, Putri Candrawathi. Tindakan itu memicu aksi saling tembak.
Brigadir J disebut mengeluarkan tembakan tujuh kali dan dibalas oleh Bharada E lima kali untu membela diri.
Narasi itu kemudian berubah dan dibantah oleh kepolisian sendiri dengan menetapkan Bharada E sebagai tersangka. Polisi mengatakan Bharada E melesatkan tembakannya bukan untuk membela diri.
Kini, polisi menyatakan bahwa penembakan yang dilakukan Bharada E adalah perintah Sambo sebagai atasannya.
“Ini bukan tertipu, tetapi menutupi. Ada tekanan dari kelompok yang dominan di tubuh Polri yang ingin mempengaruhi proses penyelidikan,” ujar dia.
Menurut Bambang, kepolisian baru bergerak setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan perintah berkali-kali. Selain itu, ada desakan juga dari Menko Polhukam Mahfud MD untuk mengungkap kasus ini
“Terbukti setelah ada perintah presiden 3 kali, progres penyidikan yang dilakukan timsus sangat cepat,” ucapnya.
Bambang menilai kasus ini bisa memunculkan kekhawatiran publik. Menurutnya, apabila masyarakat terlibat kasus dengan kepolisian, maka mereka akan tetap disalahkan meskipun benar.
Oleh sebab itu, Bambang berpendapat Kapolri harus benar-benar menuntaskan kasus ini dan menindak tegas semua yang terlibat.
“Bagaimana mungkin kepolisian menyimpan kelompok yang terorganisir dengan kewenangan yang sangat besar di tubuhnya,” ucap dia.
“Kalau itu tidak dituntaskan, akhirnya akan muncul was-was di masyarakat bagaimana kalau kasus Brigadir J ini terjadi pada mereka,” imbuhnya.
Dia mendorong agar 31 anggota kepolisian yang dinyatakan melanggar kode etik ditelusuri lebih jauh. Sebab, menurutnya ada beberapa unsur pidana yang bisa disangkakan.
“Misalnya terkait dengan obstruction of justice, kemudian menyampaikan berita bohong, itu yang harus dikejar dan masyarakat juga menunggu,” tuturnya.
“Dan mungkin ada anggota kepolisian lain yang juga terlibat, harus ditindak. Apalagi ini sudah ditonton oleh banyak orang,” lanjutnya.
Reformasi Menyeluruh
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh mengamini bahwa kasus pembunuhan Brigadir J dilakukan secara sistematis dan terstruktur oleh sekomplotan polisi.
Dia berpendapat bahwa penetapan tersangka terhadap segelintir anggota kepolisian belumlah cukup. Menurutnya, harus ada reformasi menyeluruh di tubuh kepolisian.
Menurutnya, hal pertama yang harus dilakukan oleh kepolisian adalah meminta maaf kepada keluarga Brigadir J dan publik. Lalu, setelah itu disusul oleh tindakan lain.
“Pernyataannya Karo Penmas itu pernyataan resmi Polri. Dan juga sadar atau tidak sadar, Polri telah terlibat pada awalnya untuk menutupi kasus ini. Polri harus membuat pernyataan minta maaf,”
Adapun tindakan lain yang bisa dilakukan oleh kepolisian menurut Sugeng adalah membubarkan Satuan Tugas Khusus (Satgasus) yang pernah dipimpin Sambo.
Sambo sempat menjabat sebagai Kepala Kasatgas Merah Putih. Itu merupakan jabatan nonstuktural di dalam Korps Bhayangkara.
Bagi Sugeng, jabatan nonstruktural itu memberikan kewenangan lebih bagi kepolisian dan berpotensi disalahgunakan.
“Tidak ada lagi kelompok-kelompok elite di kepolisian. Salah satunya evaluasi Satgasus, kalau perlu dibubarkan,” ujar dia.
Sugeng berpendapat lebih baik kepolisian membuat mekanisme komplain terbuka. Mekanisme itu nantinya, kata Sugeng, harus memuat unsur terbuka, independan dan ada keterlibatan masyarakat.
“Jadi mekanisme komplainnya ada juga peran masyarakat, civil society,” ucap dia.
Selain itu, Kapolri juga harus bertindak tegas. Sebab, banyak anggota kepolisian yang bertindak sewenang-wenang dengan dalih sudah sesuai prosedur. Hal itu menurut Sugeng membuat citra polisi buruk.
“Anggota Polri dalam keseharian tugasnya menganiaya orang, menembak orang, ditutupi dengan katanya sesuai prosedur,” kata dia.
“Ini harus reformasi total,” imbuhnya.
Presiden Jokowi telah mengingatkan agar Kapolri mengungkap kebenaran kasus pembunuhan Brigadir J dengan terbuka, tanpa ada yang ditutup-tutupi. Menurutnya, hal itu untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Polri.
“Usut tuntas, buka apa adanya. Jangan ada yang ditutup-tutupi, transparan. Kepercayaan publik terhadap Polri harus dijaga,” tegas Jokowi.